Setelah ibadah pagi mengeluarkan semua isi yang ku lumat kemarin malam, kopi, bakso dan puisi. Aku, sembari mendahulukan menyesap puisi pagi, rasanya tidak pernah senikmat ini, senyum lalu terpejam mendominasi cangkang tubuh pagi, puisi di kepala sebentar menggeser gusar yang menyeruak tanpa ampun beberapa gurun ku. Jam 3 aku terbangun, ada yang mematikan lampu, ia tuhan ku, katanya bangun….. ingin ku tunjukan cahaya katanya, tak ku turuti pinta nya, aku tetap bangun mengganti obat nyamuk, kembali tidur lagi, kembali membohongi diri.
Pagi ini tak ku turuti standar ngaung nya masyarakat, tak ku urusi kasur berantak, lantai berserak, ku biarkan, sudah ku janjikan dihadapan matahari dan buah persik seharga dua ribuan, aku buat standar ku sendiri, aku menjadi pelayan tuhan lewat tulisan dan nyanyian. Hahahahaha, alam bawah sadar ku tertawa, tak pernah beruntung nanti suami mu, tak kau urusi setiap pagi, ia bersihkan kasurnya sendiri, buat kopi nya sendiri dan sarapan ia semat sendiri, alam bawah sadar ku sudah dibajak, ia sombong seolah itu yang paling benar. Hahahaha jawab ku tak lebih nyaring dari alam bawah sadar ku, tak ada penulis perempuan, perempuan sibuk berburu dan meramu, energi nya bocor di ruang tamu di ruang kamu, apa itu buku, perempuan akrab pada sapu. Pada malam seribu satu, tangan ku menggenggam tangan ku yang lain, diujung suara ombak jelas terdengar, dimurung purnama yang artinya air pasang, dikerikil tajam bersela pasir masuk celana dalam, khusyuk tunduk banjir pipi, kepala ku juga tak tau, cengkrama hati dan tuhan ku, bersaut bersaut bersaut bersaut bersaut bersaut bersaut.
Komentar
Posting Komentar