Ada yang salah dengan ku, aku tidak lagi menangis karna ibu didepan minimarket yang tangan kanan nya mengipasi anak dan tangan kirinya menengadah berharap pundi. Ada yang salah dengan ku, aku tidak lagi tersenyum pada sengat matahari, aku memilih berlindung dari nya, ada yang salah denganku, aku kesal mendung dan hujan deras, rencana ku kacau kataku, aku tidak lagi menantang badai dengan tawa dan menghadapi guyur dibawah langitnya. Ada yang salah dengan ku, aku tidak lagi tersenyum melihat wajah jujur anak perempuan dan instinc pemburu anak lelaki yang sedang kejar kejaran, aku tak melihat lagi itu sesuatu. Aku tak lagi jatuh cinta pada tulus mahasiswa yang rentan kurang tapi hati nya kaya menentang ketidak adilan pelosok, aku abai, aku ramai, apa sudah yang kumasukan ke diriku sampai jujurku memundur.
Pagi hari dengan harap baru, bangun ku selalu lebih petang dari hangat energi alam semesta, dimulai dengan mendoakan diri dan untuk mereka yang tersayang, ku bersihkan sisa sisa air yang mengering diujung mata sembap bekas lalu. Tapi hatiku penuh. Dengan sepatu yang sudah bertahun lama nya membersamai ku hidup, kadang ia ku ajak ke dek kapal, kadang ia teman ku di sungai danau, kadang laut, kadang tempat ibadah, kadang rumahnya. Sepatu ku yang kedua, karna yang pertama terjatuh di Wakatobi, tak apalah kataku waktu itu, aku kaya, hariku penuh kasih. Pagi ini ada yang kembali dari diriku yang lama, aku mulai getir melihat para pekerja murung di pinggiran pelabuhan Surabaya, dengan roko yang tidak mahal tebak ku, tak hanya satu, mereka ramai, apa yang salah dari ini? Banyak sekali, mereka terpaksa terpisah dari jalan sejati dan blueprint nya, mereka dikejar dan mengejar standar yang ditetapkan sistem, negara, dan semua yang kau sebut pelindung. Mereka ada yang mahir melukis, mahir menulis, mahir membaca, atau mahir menangis seperti ku, mereka ada yang mahir merakit, mahir memasak, mahir berbicara dan pidato. Di hati mereka ada tertanam Pramoedya, ada Mahatma, ada pula Taghur. Ada Osho ada Kartini ada Quraish Shihab. Tapi tak penting itu semua, yang penting hari itu hanya makan dan UMR, mereka terpisah sudah jauh dari diri, setiap pagi terdahulu dunia yang menjejali kepala tentang apa yang harus mereka lakukan, bukan diri yang bicara apa yang harus mereka lakukan, mereka di persimpangan itu, aku dipersimpangan itu. Realita terbentuk untuk percaya pada apa apa diluar diri, tidak lagi mendengarkan intuisi, mereka tidak salah, mereka tidak memiliki akses menuju ke kesadaran itu, mereka tidak salah, aku tidak salah.
Ku coba lagi tersenyum tanpa sebab, tak perlu alasan, ke semua waktu dan manusia, ke semua rasa, menerima tanpa tunjuk tunjukan, tapi tetap tidak menganggap tidak penting anak tiri ku “sedih” tetap dengan jujur hadir duduk melerai menghadapi neraka ku, tentang fakta studi ku yang belum selesai memasuki tahun ketujuh, tentang fakta banyak kehilangan yang ternyata bukan kehilangan, suatu sungai harus dialirkan agar air lain nya masuk, begitu pun diriku. Diriku menggenang, aliran nya tak lancar, rasa lama harus keluar sebelum rasa baru masuk.
Ah pagi mendung Surabaya sangat filosofis sekali, kegiatan lari pagi kecil membawa ku pada harap dan koreksi diri, ada yang mati tapi juga ada yang lahir. Sepatu tualang ku menginjak sesuatu, bentuknya padat tapi beraroma harum, ia distraksi, aku tidak lagi melanjutkan lari pagi ku, aku memberi perhatian penuh khusyuk untuk distraksi itu, tujuan lari pagi sampai paling tidak rel pertama dari keluar pelabuhan tak ku tuju. Aku dibawa distraksi berbau harum itu, akupun belum tau apakah ia ber-relevansi dengan hidupku, apakah hal padat berbau harum tadi penting buat ku, ku lihat lihat ku bau bau, tak juga ku buka, terlalu takut memberi reaksi berlebih, kubiarkan rasa penasaran ku sembari terus mengamati, tujuan rel pertama semakin jauh, matahari semakin tinggi, tak jua aku beranjak dari bau harum tadi, aku terpaku terdistraksi terhadap hal yang perenial, yaitu hal yang tidak tau juntrungan relevansinya terhadap hidupku.
Komentar
Posting Komentar