Para penulis wanita setidaknya memiliki ruang nya sendiri, ia bahkan tak serupa dengan ruang yang ada meja, kursi, vas bunga dan bau dupa. Tidak pula di dalam kamar, tidak di tengah hutan, tidak di pinggir lautan sore, ruang penulis wanita tak kenal waktu makan siang, waktu nya mandi, waktu harus tidur, waktunya memakai peran, meskipun begitu, ruang bagi penulis wanita itu kadang menimbang nimbang dengan bantuan angin, juga dengan jangkrik, semut semut, gempita suara azan yang ia dengar selama 5 kali dengan sadar dan tanpa berubah posisi. Setidak nya semacan itu penggalan cerpen di malam terakhir Leila S. Chudori yang ku aminkan pun amankan di bagian kecil amigdala ku, ia memiliki folder khusus dengan kunci yang hanya bisa di buka rasa tertentu. Diri ku pun sendiri tak bisa membuka folder itu, folder itu berwarna putih bercap kan lem bening di tambah bunga kering, bunga yang aku petik di dataran tinggi dieng dan ku biarkan mengering, folder itu putih karna ia jujur, tapi ia jujur dengan sendiri nya tak karna apa dan siapa, folder itu bermacam seni ia ada, seni mencari paling banyak nya, folder itu kadang tertumpuk, terselip oleh folder folder lain, seperti folder bagaimana cara menjadi pintar, bagaimana cara menjadi cantik, bagaimana cara menjadi menarik, bagaimana cara memasak, bagaimana agar “terlihat” bijak, bagaimana agar kaya, tapi karna folder putih hanya dapat di buka saat rasa tertentu, ia kerap kali tertumpuk. Setidak nya, sesadarnya penulis wanita memiliki ruang membuka folder putih, membuka masing masing.
Komentar
Posting Komentar