Langsung ke konten utama

Reflektif ngaji filsafat Dr. Fahruddin Faiz ; Osho~Cinta 7 februari 2024 masjid jenderal sudirman Yogyakarta

    Everyone deserve love no rush. No run. Menimbang nimbang semua dengan seksama, pelan pelan, berkeputusan secara sadar, memakai intuitif, berbicara ke dalam dan debat diri, memperbanyak berdiam, membicarakan nya pada diri apa yang di ingini, dan tidak membiarkan intervensi luar mendominasi.

    Semua orang berhak memilih cinta dalam aman dan nyaman, tidak dengan Ancaman dan ketakutan atas apapun itu, tidak dalam khawatir khawatir yang menyelinap menjadi sebuah bentuk penyerahan diri pada yang sudah tersedia dan mengeluarkan kalimat “dari pada tidak ada”

    Everyone deserve love yang membuat nya merasa berjalan saja itu tidak pernah menjadi masalah, tak perlu semua di libas sekarang, everyone deserve love yang menjadikan kata berproses menjadi teman baik dan dengan sadar memilih berproses padahal iya bisa menyingkat waktu dan memilih jalan singkat, tapi tidak, love is longterm.

    Perjalanan Yogyakarta di februari 2024 mengantarkan pada hal yang sudah lama ingin aku lakukan, menemui atau sekedar mendengarkan ngaji filsafat secara langsung yang di sampaikan bapa Fahruddin Faiz, cara penyampaian beliau yang tidak terburu buru, cenderung pelan pelan belakangan ku tiru dalam menyampaikan apapun pada siapapun terlebih di forum penyampaian materi formal, ternyata gaya bicara seperti ini berhasil membuat ku berfikir terstruktur yang hasilnya sinkronlah antara apa yang ada di kepala dan apa yang ingin di sampaikan. Aku merasa emosional aman di jalurnya, tidak bersemangat berlebih dan tidak takut pada opini orang lain, satu hal di akhir penyampaian bapa Faiz di episode kali ini, ia mengutip apa yang di katakan osho (filsuf dari India) katanya ; ketakutan terbesar di dunia adalah opini orang lain, saat engkau tidak takut pada orang banyak, engkau bukan lagi seekor domba, engkau adalah singa. Lalu aku melihat ini pada tokoh tokoh yang aku tekuni, tidak takut bukan berarti kau keras, tidak takut juga bukan berarti kau tak ber welas asih, tidak takut bisa berjalan bersamaan dengan tetap penyayang dan tetap tak mendengarkan (tafsirkan masing masing).


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tengah malam 24 agustus 2024 si penulis harus tidur, karna pagi nya harus menjadi rakyat

Awalnya. Minggu ini si penulis akan menulis mengenai meditasi yang beberapa tahun kebelakang menarik perhatian nya Tapi tidak ada yang lebih urgen Selain susah nya hadir penuh di masa sekarang karna distraksi akan masa datang yang menjadi kecamuk takut Susah nya juga menjadi orang miskin di negeri ini, umr umr yang kita dapatkan masih harus di sunat 50% nya bahkan 70% nya untuk subsidi bahan bakar, karna dari awal bahan bakar di atur sudah di salurkan ke kendaraan kendaraan pribadi, (tidak mengelola angkutan umum secara brutal dan besar besaran) Lalu Jika angkutan umum di kelola, dealer dealer asal negara sebrang tak kebagian komisi, negara tak kebagian investasi Teman teman ku sekalian yang berusaha menghemat dengan memangkas uang makan, dan uang kualitas hidup lain nya Tapi tetap menaruh paling atas dana mobilitas yang patungan dengan subsidi (kabarnya) Kata kata subsidi menjadi konotasi jika yang memberi subsidi lebih banyak berkorban, lalu yang di subsidi patutnya berterimakasih de...

Selain segelas kopi. Ruang kumuh juga membuat mu penuh.

            Ruang hidup ku yang ku kutuk karna terlalu panas, terlalu banyak cahaya matahari masuk, terlalu lelah dibersihkan. Menyita banyak waktu. Merenggut banyak hari. Dipatahkan dengan kunjungan ku ke kediaman ibu ini. Kasur yang beliau duduki salah satu tempat aman nya, semoga juga nyaman, sambil memutar ayat suci alquran di pengeras suara, harap harap nya bisa ku rasakan sebelum semakin jauh aku masuk kerumah nya. Perasaan apa ini?                Percayalah, jika kita menganggap hati kita penuh hanya jika sudah tercapai nya mimpi mimpi kita, hati kita penuh hanya jika sudah memuncak karir kita. Atau. Hati kita penuh setelah berhasil menikah, tidak hanya itu, manusia manusia di gang gang kumuh yang perlu uang kopi mu dapat menukar nya. 

Rini Mei dan angin Takisung

  Kadang kita bertiga anak kecil naif yang berjalan di kubang lumpur kesalahan dan tidak sadar, kadang nyaring tangisan lebih sering kami bagi dari tawa itu sendiri, salah pijak langkah nya Rini, Mei dan tentu aku, membawa kami ke ruang yang sama, ruang yang boleh jadi apapun bahkan tukang salah sekalipun, setelah itu kami rayakan di coffeeshop atau toko kue untuk saling bilang “hey, aku hidup”. Di 8 tahun terakhir ini, selain kiriman video yang lewat, saling memberi tanda suka menjadi cukup karna masing kami harus mulai mengisi perut sendiri. Benar saja, kegiatan mengisi perut mengantarkan Rini pada rumah baru nga, dan Mei pada gelar pendidikan kedua nya. Ini gila, bagaimana jalan sepanjang itu, sedikit demi sedikit mereka gapai ditengah beling kaca telapak kaki nya, bagaimana bisa tidak tidur tiap malam dan bangun tiap pagi, bertahun mereka lakukan. Sudah 8 taun lama nya, kami masih sering bertanya “what if” bagaimana jika dibelakang aku berlaku seperti ini ya? Bagaimana jika aku...