Ia ku namai Alor , anak ku yang pertama, ku labeli anak pertama karna aku berniat memiliki yang kedua ketiga ke empat dan seterusnya. Ini tahun ke tiga nya, di umur nya yang ini, banyak yang ia saksikan, pertemuan, perpisahan, tangisan, patahan hati, sambung kembali, tak datang lagi, banyak yang sudah iya saksikan.
Di sore teduh Alor bercerita, cerita nya kurang lebih seperti ini ;
Aku menyaksikan 1 petualang berumur hampir 30 tahun, ia wanita, tak banyak yang seperti nya, pemakluman nya tinggi, sangat bisa di lihat banyak yang ia pelajari, banyak yang ia tahu, empati menjadi bagian diri nya selain darah tulang oksigen dan foto instagram, 20 hari lama nya ia berdiam di bawah ku (terang Alor) aku tau Cyntia senang hadirnya, tapi ia paham betul makna sementara, suatu sore (juga) ku saksikan mereka berdua dengan penerangan redup menyantap makan malam yang padahal belum malam, di pertengahan makan obrolan dalam mendominasi seolah lebih lezat dari makanan yang di hadapi. Mereka beradu damai jutaan pertanyaan apakah bertualang ataukah bertunangan, apakah berbahagia ataukah berkeluarga, apakah berpindah ataukah menikah, apakah kita pada akhirnya harus memilih, apakah di ujung sana dari semua yang kita lakukan tetap di hadapkan dengan 2 pilihan yang seolah harus di pilih salah satu dan di tinggalkan sambil di injak salah satunya, mengapa tak bisa kita dapatkan kedua nya, petualangan juga sebagian hidup, tanpa petualangan tak kita dapatkan pribadi yang kita nyamani seperti ini, gumam mereka (jelas Alor) mereka saling setuju (tambah Alor)
Sambung nya lagi, kali ini mereka mengambil posisi lebih nyaman, masing masing mereka bersandar di dinding, aku rasa setelah ini akan lebih dalam, aku melihat mereka pun memiliki ketakutan yang besar, tetapi memang keinginan bernafas di tengah perjalanan lebih besar dari itu semua, bahkan dari ketakutan mereka, sayup sayup ku dengar mereka melanjutkan debat yang di dominasi dengan 1 suara yang sama, apakah memilih tidak menjadi normal sesusah ini, jalan yang kita pilih seolah masih belukar, jarang di lewati atau bahkan tidak ada yang melewati, kita menebas sendiri meraba semak, memangkas duri belukar, bahkan membelah batu besar, di ujung sana juga kita tidak tau apakah sungai damai atau bahkan ombak penuh riak. Sangat berbeda dengan jalan yang sudah sering di lalui orang, ia terasa mudah, bahkan ber aspal, tujuan nya pun semua tau, dengan mudah di temukan di maps maps gawai.
Malam larut tiba juga, mereka tidur, untuk bangun pagi, untum hidup lagi, menebas belukar lagi !
Komentar
Posting Komentar