Langsung ke konten utama

Es jeruk Malang tahun 2003 (#Kal1)




 Salah satu manusia cerdas ternyata bapa nya perempuan itu, di sadari anaknya akhir akhir ini, di sadarinya sebelum menyambut pulang pulang nya ke sekian, di sadari setelah perjumpaan dengan pura pura berbau dupa itu.
  Dulu ketika sebelum masuk sekolah, anak bapa ini sakit, sakit yang hampir parah, mungkin juga sudah parah, aku pun tak tau, bertahun tahun, tak boleh makan ini tak boleh makan itu, lebih banyak obat di telan dari pada padi lauk dan pauk, beruntung nya dia di punyai dan mempunyai orang tua seperti mereka, pasti berat, si bapa sedang mulai beradaptasi dengan tugas baru di lingkungan baru, begitu pula dengan si ibu beradaptasi dengan segala macam kenakalan anaknya, menurut cerita, si anak masih di bawah 5 tahun tapi suka naik pohon, tak pernah jatuh, belum pernah, belum lagi tidak mau di atur, tidak mau mengikuti arus, ketika si anak merasa benar dia tetap berdiri di jalur nya, walau semua teman teman nya di jalur sebrang, sendiri pun ku arungi dunia ini dari pada ramai ramai tapi dengan cara yang salah, begitu mungkin prinsipnya, apa pedulinya dunia dengan prinsip, jutaan manusia berprinsip membenci sampah, jutaan mereka juga penghasil sampah, aku pun manusia, satu article berhasil menarik perhatian ku akhir akhir ini, mengenai rumah tanpa tempat sampah, “bagus dong, jadi kita tidak akan buang sampah, kita pun tidak memproduksi sampah” kalimat itu membuat ku bergidik.
   Malam hari sepulang bekerja, bapa ini mengajak anaknya berjalan jalan di kota malang, si anak melihat es jeruk yang menggugah ke penasarannya, meminta segelas ke bapa nya, tetapi karna sakit yang di derita anak itu, berat (mungkin) si bapa mengabulkan, tapi apalah orang tua, dunia pun jika dia sanggup akan di berikan ke anaknya, di beli nya es jeruk itu lalu di beri ke anaknya, di minum nya satu tegukan, lalu es jeruk tadi di gantung di standar motor, “anak kecil tadi bertanya kenapa? Pastilah es jeruk tadi tumpah terkena aspal”. Berjalan lah malam hari itu dari sebuah mall ke sebuah rumah dinas dengan motor wins yang penuh kenangan, perjalanan berdua bapa dan anak perempuan itu sering terjadi, perjalanan yang sampai anak kecil itu besar selalu menjadi kesan. 
  Sesampai di rumah anak kecil dan bapa nya memeriksa es jeruk yang di gantung di standar motor tadi, benar saja, tak tersisa apapun, hanya tutup nya, bapa nya berkata dan meminta maaf karna tumpah, anak kecil tadi menerima dan tidak marah, tetapi ia mencoba memahami situasi, menjabarkan dan tidak mengerti apa yang di lakukan bapa nya. Malam hari menuju rumah penuh diam oleh anak kecil dan bapa nya, dengan posisi favorit bapa nya menggendong anak kecil itu, ia duduk di tengkuk leher lalu berpegangan pada kepala bapanya, mereka berjalan ke arah rumah, dingin Malang sekitar tahun 2003 dan suasana magis ternyata menjadi kenangan indah, baru ia sadari ketika menginjak 20 tahun, ia sadari ternyata bapa nya amat sangat pintar dengan menaruh es jeruk di standar motor agar tumpah, dan si anak kecil tidak meminumnya lagi karna tidak boleh minum es, sebuah cara didik cerdik dari sang bapa pada anak nya, tanpa larangan, tanpa marah, tanpa suara tinggi, ia mendidik sebaik baik didikan, dengan alur cerita yang ketika anak kecil ingat selalu menjadi gaum di kepala sebagai teman angka 20 an nya, ini hanya satu dari sekian cara didik yang cerdik menurut nya. Nanti. Aku ceritai lagi, bagaimana teladan teladan sabar si bapa, walau pernah ia temui marah, tapi wajar ucapnya. 
   

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Selain segelas kopi. Ruang kumuh juga membuat mu penuh.

            Ruang hidup ku yang ku kutuk karna terlalu panas, terlalu banyak cahaya matahari masuk, terlalu lelah dibersihkan. Menyita banyak waktu. Merenggut banyak hari. Dipatahkan dengan kunjungan ku ke kediaman ibu ini. Kasur yang beliau duduki salah satu tempat aman nya, semoga juga nyaman, sambil memutar ayat suci alquran di pengeras suara, harap harap nya bisa ku rasakan sebelum semakin jauh aku masuk kerumah nya. Perasaan apa ini?                Percayalah, jika kita menganggap hati kita penuh hanya jika sudah tercapai nya mimpi mimpi kita, hati kita penuh hanya jika sudah memuncak karir kita. Atau. Hati kita penuh setelah berhasil menikah, tidak hanya itu, manusia manusia di gang gang kumuh yang perlu uang kopi mu dapat menukar nya. 

Rini Mei dan angin Takisung

  Kadang kita bertiga anak kecil naif yang berjalan di kubang lumpur kesalahan dan tidak sadar, kadang nyaring tangisan lebih sering kami bagi dari tawa itu sendiri, salah pijak langkah nya Rini, Mei dan tentu aku, membawa kami ke ruang yang sama, ruang yang boleh jadi apapun bahkan tukang salah sekalipun, setelah itu kami rayakan di coffeeshop atau toko kue untuk saling bilang “hey, aku hidup”. Di 8 tahun terakhir ini, selain kiriman video yang lewat, saling memberi tanda suka menjadi cukup karna masing kami harus mulai mengisi perut sendiri. Benar saja, kegiatan mengisi perut mengantarkan Rini pada rumah baru nga, dan Mei pada gelar pendidikan kedua nya. Ini gila, bagaimana jalan sepanjang itu, sedikit demi sedikit mereka gapai ditengah beling kaca telapak kaki nya, bagaimana bisa tidak tidur tiap malam dan bangun tiap pagi, bertahun mereka lakukan. Sudah 8 taun lama nya, kami masih sering bertanya “what if” bagaimana jika dibelakang aku berlaku seperti ini ya? Bagaimana jika aku...

Tak ada penulis perempuan, para perempuan sibuk berburu dan meramu

  Perempuan   itu jika punya mimpi berarti egois, jika mimpinya membuat nya keluar rumah iya durhaka. Perempuan itu, jika pagi hari nya mendahulukan menyesap matahari, dari pada membuat kopi untuk suami, berarti ia salah. Perempuan boleh sekolah tapi cuci piring dulu setiap pagi, tak guna mengulang materi, tak perlu tau dalam dalam tut wuri handayani. Perempuan itu selama nya dipilihkan “jangan kesana sayang, itu membahayakan” suara manis ayah nya pun kekasihnya, mengungkung laju harap ingin tau nya.  Tetap di ruang kotak kamar kamu yang aman ya “nanti kamu merawat seluruh keluarga” dan jangan lupa juga rawat diri mu, jika anak mu perempuan jangan lupa ajarkan jika pilihan keluar rumah nya hanya ketika ia menikah, selain itu tak berkenan. Inggid merasa menyebrang terberat nya ialah menyebrang sungai brantas di umur nya yang lima, dekade depan kemudian ia mulai menyusuri karma karma orang dewasa nya, Inggid masuk sekolah favorit di kota nya tanpa sulit, pelajaran sekolah n...