Seperti Banjarmasin Banjarmasin sebelumnya, Banjarmasin kali ini masih banyak hingar dan bingar yang tidak masuk rencana, pertahanan diri yang tinggi, mawas dan keberanian menolak, menjadi hal hal yang marak di bicarakan otak ku akhir akhir ini, tanpa 3 hal itu, rencana dan target target mustahil terjalankan.
Salah satu teman di Jogja berkata, “apa rasanya ya tidak punya teman, bagaimana lega dan enaknya tidak perlu menolak, minim distraksi” target tetap di jalannya, rencana tetap di jalurnya, sebuah sudut pandang baru dari seorang yang banyak teman.
Seperti keyakinan, prinsip pun berubah rubah, tergantung dengan siapa dan apa para manusia menghabiskan waktu, untuk itu sering ku dekatkan diri ke perpustakaan pal 6, kadang jika sedikit perlu oksigen ketimbang pendingin ruangan, ku belokan kendaraan ku ke perpustakaan taman kamboja, atau….. jika sedang ada kelas atau teman berkeperluan di lingkungan kampus, ku singgahi positif coffee milik teman setelahnya, seperti mesjid kota gede yang ku kunjungi hanya ketika malam tiba, berlama lama aku di sana, sampai subuh pun tidak masalah, mengadu teradu, menulis tertulis, begitu juga positif coffee magis nya ku rasakan.
Benar ku temukan di buku historial milik bla bla bla, di sebutkan “jika perjalanan menggunakan pesawat tidak terasa seperti perjalanan” lalu ku setujui, itu salah satu alasan kenapa selama ini selalu menggunakan kapal dan jika bisa di tempuh jalur darat, aku memilih jalur darat, lalu lahir lah perenungan perenungan dari pulangnya aku berjalan ria kurang lebih desember 2022 sampai februari 2023, kurang lebih 2 bulan terakhir, rasanya aku ingin tulisan ku di temukan di akses yang tidak mudah, di blog blog, article atau buku misalnya…? Tidak tepat rasanya jika memberikan akses instan dari apa apa yang ku dapat di perjalanan, lalu menyebarnya di ruang ruang yang tidak bersifat pennerial, ruang ruang yang gampang terlupakan, 2 3 hari ke depan pun tertutup kehingaran baru, lalu tulisan ku lenyap, tidak tidak, bukan itu yang aku ingini, aku ingin tulisan ku membekas, mengubah, tidak perlu banyak manusia, 1 2 pun cukup, orang sekitar pun cukup, toh kita mati masing masing.
sama seperti lampu yang hanya di gunakan di tempat tak ada lampu, begitu pun karya, akan bertahan di ruang yang tepat, tapi belakangan ini orang orang salah kaprah terhadap karya, membuat video question and answer pun di sebut karya, aku jadi mempertanyakan definisi dan esensi karya itu apa, bukankah berkarya berarti siap kesepian siap menunda kesenangan siap berproses panjang, Tan malaka berkarya di penjara tokoh lain pun begitu, beda cerita dengan Magellan yang mengarungi dunia dengan kapal nya, belum lagi Thales filsuf Yunani yang memilih tidak menikah dan menerbitkan karya, karya itu perjuangan.
Bicara tentang perennial, yang di ajarkan bapa Fahruddin Faiz dan ku sepakati, penyampaiannya sering mengantarkan tidur ku, akupun memiliki rentetan pertanyaan di draft ku yang akan ku tanyakan ketika bertemu beliau, tak tau kapan, siapa yang tau, kita bertemu saat itu pun kau tak tau kan? beliau mengisahkan mengenai perennial, kenapa Thales si tokoh filsuf memiliki pemikiran pemikiran yang ketika kita baca kapanpun masih relevan padahal dia hidup di abad ke 6, ini yang di maksud perennial, yaitu abadi, pemikiran yang dapat di gunakan kapanpun, zaman apapun, dan manusia butuh ke relevanan terus menerus, hal ini tidak di temukan di sosial media, itu kenapa akan menjadi tidak papa sekali jika kita lewatkan.
Banjarmasin sejauh ini masih dengan mencari celah waktu kosong untuk aku tetap dapat belajar di tempat lain, sia sia rasanya jika hari bulan tahun hanya di habiskan di perkuliahan, lalu aku melibatkan diri ke ruang ruang yang sejalan dengan ku, akhirnya terlibat walau tidak banyak tapi belajar banyak dari teman teman narasi perempuan, mereka banyak membahas perfeminis an, sedikit banyak aku jadi tau hal hal yang sebelumnya aku tidak tau, tentu akan ku saring yang tepat denganku lalu ku terapkan, lagi lagi aku senang mendapati perempuan perempuan seberprinsip itu di tempat ku tinggal, berbeda dengan biasanya manusia seperti itu aku temui di kota lain. Salah satu festival musik di 2018 bertepat di agrowisata Batu Malang kala itu berpendapat seperti ini, “kita di pertemukan dengan apa apa yang kita cari”, mantra yang masih aku terapkan juga sejauh ini dari Folk Musik Festival.
——Banjarmasin, perpustakaan fakultas, 22 feb 2023, sedang berencana dan packing untuk backpacking ke sekian.
Komentar
Posting Komentar